fotoQ

fotoQ
senyum dooonggg

Selasa, 12 Maret 2013

Cerpen


Mantanku Iparku
Karya: Nurjannah Rambe
Tak terasa telah enam tahun aku tak bertemu dengan bang Iwan. Yah Iwan adalah mantanku. Dia merupakan cinta pertamaku. Sampai sekarang aku masih menunggunya dan berharap suatu hari nanti aku akan bertemu dengannya dan aku ingin dialah yang menjadi imamku kelak. Bagaimana ya kabarnya sekarang??
“Kak, kak Bulan” suara adikku mengejutkanku dan membuyarkan lamunanku.
“Apa sih ki, ganggu orang aja” kataku seolah merajuk. Adikku yang satu ini memang selalu membuatku kesal, tapi aku sangat sayang kepadanya. Dia seorang mahasiswi di UIMED, jadi kami jarang berjumpa, dan sekarang dia lagi liburan. Dia begitu manja kepadaku karena memang hanya tinggal kami berdualah yang belum berumah tangga. Kedua kakakku telah menikah dan mereka selalu membujukku untuk cepat-cepat menikah. Tapi aku masih mengharapkan bang Iwan. Sejak perpisahan kami enam tahun yang lalu aku memang tak pernah dekat apalagi sampai berpacaran dengan lelaki yang lain. Aku telah menutup pintu hatiku. Dan rahasia ini hanya aku dan adikku Rizkilah yang tahu.
“Kak aku mau curhat nih!” kata Rizki seraya masuk ke kamarku.
“Kenapa? Lagi ada masalah di kampus? Atau jangan-jangan kamu lagi suka sama seseorang ya?”
“ih kakak ini sok tau”
“Trus kenapa kalau begitu?”
“Hehehe,,, iya kak Rizki lagi galau nih”
“Galau kenapa adikku sayang?”
“Kak ada yang nembak Rizki”
“Wah bagus dong, berarti adik yang satu ini kakak laku juga. Hehehe,,,”
“ih kakak ini apa-apaan sih”
“Ya udah, ya udah cerita sama kakak siapa yang suka sama Rizki, semester berapa, tinggalnya dimana, dan anak siapa”
“Ih kakak ini udah kayak mau ngelamar anak orang aja”
“Ya harus seperti itu Ki, kita harus tau baik atau gak cowok itu”
“Dia udah gak kuliah lagi kak”
“Loh kamu ini gimana sih Ki, kamu ini kan kuliah, ya kalau bisa mencari cowok yang kuliah jugalah, setidaknya yang setara denganmu”
“Dia dosen Rizki kak”
“Wah bagus tuh kalau gitu”
“coba cerita sama kakak kok bisa dosenmu itu nembak kamu”
“Gini kak, waktu semester dua kemaren kan ada tuh kakak kelas yang ngajak Rizki jual bunga waktu acara Wisuda di kampus Rizki, eh waktu Rizki asik-asiknya jualan ada tuh abang-abang yang dekati Rizki, Rizki kira dia mau beli bunga ya Rizki tanya mau beli bunga warna apa. Eh dia malah diem aja sambil mandangin Rizki. Ya Rizki salting lah kakak. Rizki sempat berpikir juga untuk apa ya dia mau beli bunga, padahalkan dia yang mau Wisuda, biasanya temen-temen dekat tuh yang beliin bunga bukan malah yang Wisuda yang beli. Tapi mau ngapai coba dia datangi Rizki kalau bukan mau beli bunga. Lama-lama rizki gregetan juga karna dipandangi terus, jadi ya Rizki tanya lagi mau beli bunga apa bang? Dia jawab abang bukan mau beli bunga dek. Trus mau ngapai dong ke sini kalau bukan mau beli bunga. Abang mau bicara sebentar sama adik. Emang abang kenal sama aku? Gak. Trus kenapa abang mau ngomong sama aku dan mau ngomong apa? Bisa ikut abang sebentar gak? Kemana? gak bisa ya ngomongnya di sini aja? Gak enak kalau didenger yang lain dek. Yah akhirnya Rizki ikutilah dia. Sampai di tempat yang agak sunyi ia diam dulu tu kak, trus karna penasarannya ya Rizki tanyalah dia, emang abang mau ngomong apa sih? Kok kebanyakan mikir gitu, cepetan dong bang aku lagi ditunggui tuh sama temen-temen aku trus bunga-bunga aku juga gak ada yang jualin. Trus dia ngomong gini kak, Dek abang boleh minta tolong gak? Yah tergantung. Maksudnya? Oh abang tau, adik mau abang bayar berapa? Bilang aja dek Insyaallah abang kasih, tapi jangan banyak-banyak ya dek. Maksud abang apa sih? Tadi adik bilang tergantung, itu maksudnya tergantung bayarannya kan? Abang ini suuzhon aja sama orang. Memang bang kita baru kenal tapi gak kayak gitu kalilah. Maksud aku itu tergantung abang minta bantuan apa, kalau aku bisa bantu ya aku bantu, kalau gak ya maaf. Gini dek, abang kan ini mau Wisuda, adik mau gak jadi pendamping Wisuda abang? Kakak tau gak, begitu Rizki denger itu Rizki sempat shok, Rizki lama bengong. Memang sih kak Rizki pernah denger tentang pendamping Wisuda bayaran, tapi Rizki gak nyangka kalau Rizki yang akan jadi pendamping wisudanya. Malah waktu itu Rizki masih semester dua. Ngeliat aku yang bengong abang itu menyadarkan Rizki, adik kenapa? Adik gak bisa bantu abang ya? Pliss dek tolonglah abang, sebentar lagi acara akan dimulai, tapi abang belum punya pendamping. Berapapun adik minta bayarannya abang kasih. Mau ya dek ya, pliss. Rizki langsung bilang gini kak, bukan soal bayarannya kak, gak dibayar juga aku gak keberatan, masalahnya aku itu baru semester dua apa pantas aku jadi pendamping Wisuda, lagian baju dan dandanan aku seperti ini, apa abang gak malu kalau aku yang jadi pendamping abang? Gak mungkin abang kayak gitu dek, malah abang seneng kalau adik bisa bantu abang. Mau ya dek jadi pendamping abang? Nengok wajahnya yang memelas itu aku jadi kasihan sama dia kak, ya aku mengangguklah. Habis itu aku permisi sama kakak yang ngajak aku jualan, aku bilang aku ada urusan sebentar. Itulah awal mula aku kenal samanya”
“Tapi tadi Rizki bilang kalau yang nembak Rizki itu dosen, sekarang kok malah cerita orang yang mau Wisuda sih?”
“Kakak tau gak kalau yang Wisuda dan minta Rizki jadi pendamping wisuda itu dosen Rizki. Cerita tadi itu kan awal pertemuan kami. Sekarang dia udah jadi dosen di kampus Rizki.”
“Oh gitu ceritanya. Jadi setelah selesai wisuda kalian masih sering kontek-kontekan?”
“Ya gak lah kak. Selesai wisuda ya seperti tidak terjadi apa-apa, Rizki juga gak pernah ketemu lagi sama dia.”
“Oh...”
“Tapi kak sebelum kami berpisahkan dia foto-foto dulu sama keluarganya di luar gedung, ya dia ngajak Rizki untuk ikut foto-foto bareng mereka. Sebenarnya Rizki gak mau, tapi Rizki takut ketauan sama orangtuanya kalau kami itu Cuma boong-boongan aja.”
“Namanya siapa Ki?”
“Hendra kak”
“Namanya bagus, pasti orangnya lumayan ya kan?”
“Hehehe... kakak ini tau aja”
“Trus kok bisa Rizki ditembak sama dia”
“Ya gitu, dia kan sekarang dosen, trus dia pernah masuk ke kelas Rizki waktu dosen Rizki gak masuk, dia yang gantiin. Rizki terkejut waktu nengok dia masuk kelas Rizki, eh dia malah senyum-senyum. Ya Rizki pura-pura gak kenal sama dia. Untungnya dia juga kayak gitu. Tau gak kak, sewaktu selesai kuliah, dia manggil Rizki.”
“Trus, trus, trus”
“Ya Rizki bilang ada yang bisa saya bantu pak? Dia tersenyum denger Rizki ngomong kayak gitu. Trus dia ngomong gini kak, saya lupa kemaren ngucapin terima kasih sama kamu habis saya gak tau nomor Hp kamu. Trus dia ngeluarin duit, dia mau ngasih uang ke Rizki. Jelas aja Rizki tolak. Rizki bilang kalau Rizki itu ikhlas ngebantuinnya. Tetap aja dia maksa Rizki tuk nerima duit itu, tapi Rizki tolak mentah-mentah. Trus dia bilang gini, ya sudah kalau kamu gak mau nerima pemberian dari saya maka kamu harus mau saya traktir makan siang, gimana? Sebenarnya Rizki mau nolak tapi Rizki gak tau mau ngasih alasan apa, ya akhirnya Rizki ngangguk aja. Dari hari itulah kami jadi akrab.”
“Habis itu dia langsung nembak Rizki?”
“Ya gak lah kak, baru kemaren Dia nembak Rizki”
“What?? Kemaren??”
“Iya kak.”
“Kirain kalian udah jadian.”
“Belum, menurut kakak gimana? Rizki terima atau gak?”
“Ya kalau kakak sih terserah kamunya aja. Kalau kamu suka sama dia ya terima, kalau gak ya gak usah terima. Kalau masalah bibit, bebet, dan bobotnya kakak rasa dia orangnya baik. Sekarang keputusan ada ditanganmu. Rizki udah gede, jadi Rizki pasti tau mana yang baik dan mana yang buruk untuk Rizki.”
“Ya deh Rizki pikir-pikir dulu. Oh ya kak gimana kabar bang Iwan mantan kakak dulu? Udah ada kabar?”
“hemm... gak tau lah Ki, dia ilang bagai ditelan bumi. Gak tau kemana rimbanya.”
“Kalau menurut Rizki ya kak lebih baik kakak membuka hati kakak untuk orang lain aja. Kayaknya dia itu gak bakalan kembali lagi. Mungkin aja dia sekarang udah nikah bahkan udah punya anak.”
“Tapi kakak yakin suatu hari nanti kami akan bertemu. Kalau pun dia udah nikah kakak mau tau kejelasannya, bukan seperti sekarang ini.”
“Tapi kak, kakak itu harus memikirkan masa depan kakak juga dong, jangan terus-menerus nunggui dia. Seolah-olah kakak itu tidak laku saja.”
Sebenarnya sakit mendengar kata-kata itu dari adikku, tapi apa yang diucapkannya itu memang benar. Aku memang tidak pernah dekat lagi dengan seorang laki-laki setelah putus dengannya.
“Ki sepertinya kakak ingin menenangkan pikiran dulu, kakak ingin berkunjung ke rumah bu Mala di Jambi. Kakak akan mencari kerja di sana.” Sebenarnya ada niat dihatiku untuk mencari bang Iwan, siapa tau aku akan bertemu dengannya di sana. Dulu kami kan satu sekolah. Dia adalah kakak kelasku. Ketika aku kelas dua SMA dia kelas tiga, dan saat itulah kami jadian. Dan ketika dia tammat sekolah ia kuliah di Medan. Oleh karena itulah kami berpisah. Sekarang mungkin ia telah menjadi sarjana dan mungkin juga ia berada dikampungnya.
“Yah itu sih terserah kakak aja. Kalau kakak memang maunya kayak gitu yah sudah. Kapan rencana kakak akan berangkat?”
“Kayaknya minggu depan sajalah, lagian kakak belum bilang sama mama”
“Yah sudah Rizki pergi dulu ke kamar ya kak, siapa tau dia nelfon”
Dia langsung ngeloyor pergi meninggalkanku. Aku hanya mengangguk saja sambil memandanginya.
***
Minggu depannya aku memang benar-benar pergi ke Jambi. Di sana aku mencari pekerjaan dan kutanyakan juga kepada para teman-teman dulu bagaimana keadaan bag Iwan. Tapi aku terkejut karena mereka mengatakan kalau bang Iwan telah lama pindah dari sana. Mereka tidak ada yang tau kemana bang Iwan perginya. Setengah berputus asa aku mendengar kata-kata mereka. Pupus sudah harapanku untuk bertemu dengannya. Kemana lagi aku akan mencarinya? Hanya ini tempat satu-satunya yang aku harapkan dapat mempertemukan kami tapi nyatanya ia telah pergi bersama keluarga besarnya. Ntah kemana.
Malamnya adikku menelfonku. Sebenarnya aku malas untuk mengangkat telfonnya, tapi akhirnya kuangkat juga. “Halo, Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam, kak gimana kabarnya”
“Sehat Ki, Rizki sehat? Udah masuk kuliah kan?”
“Alhamdulillah Rizki sehat kak. Iya kak ne Rizki udah di kos-kosan. Kak Rizki udah jadian sama bang Hendra”
“Wah bagus dong, berarti adik kakak dah dewasa sekarang”
“Jadi selama ini kakak nganggap Rizki masih kecil ya?? Gini-gini udah semester tujuh loh kak. Heheheh... kakak betah di sana?”
“Ya betahlah, malah kakak udah dapat kerjaan di sini”
“Kerja apa kak?”
“Kakak kerja di supermarket”
“oh ya lah. Oh ya kak minggu depan Rizki akan pergi Kisaran, PPL.”
“wah kalau begitu sebentar lagi adik kakak ini akan jadi sarjana dong”
“Iya dong” Pembicaraan kami berlangsung cukup lama sampai hampir larut baru kami menyudahinya.
Empat bulan aku sudah di Jambi. Tiba-tiba Rizki menelfon dan pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan tidak seperti biasanya. Dia bertanya “kak seandainya Rizki nikah lebih dulu dari kakak, gimana?” Aku terkejut mendengar pertanyaannya.
“Kok Rizki nanyanya kayak gitu?”
“Bang Hendra mau ngelamar Rizki kak” katanya dengan suara yang pelan. Mungkin dia takut kalau aku akan tersinggung. Sebenarnya aku sedih mendengarnya, tapi untuk kebahagiaan adikku. Tak mungkin aku tak merestuinya dan menyuruhnya untuk menungguku yang tak jelas kapan akan menikah.
“Ya kalau kalian berdua sudah siap ya gak apa-apa. Malah itukan bagus berarti dia memang benar-benar serius sama kamu. Lagian kalau lama-lama nanti bisa mengundang perzinahan.” Sebenarnya air mataku telah berlinang. Tapi aku kuatkan diriku untuk tidak menangis sekarang. Dan sebentar lagi aku akan dilangkahi oleh adikku.
“Kalau kakak keberatan Rizki akan bilang sama bang Hendra untuk menunggu kak.”
“Tidak usah Ki, kakak gak apa-apa kok. Gak usah merasa gak enak sama kakak.”
Selesai menelfon aku menangis. Aku menangis karena kebodohanku sendiri yang telah menyia-nyiakan waktuku untuk orang yang gak jelas. Mulai timbul penyesalan dalam diriku. Seandainya saja aku mendengarkan kata-kata kakak-kakakku, mungkin sekarang aku telah mempunyai anak.
Dua minggu kemudian aku mendapat kabar kalau adikku telah resmi dilamar. Sebenarnya ia menyuruhku untuk pulang tapi aku memberikan alasan supaya aku tidak pulang. Aku sedih dan malu berada ditengah-tengah mereka. Maka aku katakan di hari pernikahannya saja aku akan datang.
Dua minggu setelah hari pertunangan itu mereka pun menikah dan acara resepsi pernikahan adikku pun dilaksanakan tepat pada hari itu juga. Sebenarnya ia menyuruhku pulang seminggu sebelum hari H, tapi aku katakan kalau aku tidak bisa libur lama-lama dan pada hari H nanti aku akan pulang menghadiri acara resepsinya. Aku tau dia sedih, tapi dia tetap mengerti dengan keadaanku.
Sehari sebelum hari H aku pulang. Perjalanan saja memakan waktu satu hari. Jadi aku tiba di rumah tepat di hari H-nya. Sesampainya aku di rumah tepat ketika ijab kabul selesai dibacakan dan adikku telah resmi menjadi seorang istri. Begitu melihat wajah suami adikku yang sekarang telah menjadi adik iparku, kakiku terasa lemas. Wajah itu, wajah yang selalu kurindu. Wajah yang selalu menghiasi mimpi-mimpi indahku. Wajah itu yang telah kutunggu dan kucari selam enam tahun belakangan ini. Kini ia berada dirumahku dan menjadi adik iparku. Tanpa terasa mulut ini mengeluarkan kata “Bang Iwan”, lalu aku tak tau ntah apa yang terjadi padaku. Aku tak sadarkan diri.