Mantanku Iparku
Karya: Nurjannah
Rambe
Tak terasa telah enam tahun aku tak bertemu dengan
bang Iwan. Yah Iwan adalah mantanku. Dia merupakan cinta pertamaku. Sampai
sekarang aku masih menunggunya dan berharap suatu hari nanti aku akan bertemu
dengannya dan aku ingin dialah yang menjadi imamku kelak. Bagaimana ya kabarnya
sekarang??
“Kak, kak Bulan” suara adikku mengejutkanku dan
membuyarkan lamunanku.
“Apa sih ki, ganggu orang aja” kataku seolah
merajuk. Adikku yang satu ini memang selalu membuatku kesal, tapi aku sangat
sayang kepadanya. Dia seorang mahasiswi di UIMED, jadi kami jarang berjumpa, dan
sekarang dia lagi liburan. Dia begitu manja kepadaku karena memang hanya
tinggal kami berdualah yang belum berumah tangga. Kedua kakakku telah menikah
dan mereka selalu membujukku untuk cepat-cepat menikah. Tapi aku masih
mengharapkan bang Iwan. Sejak perpisahan kami enam tahun yang lalu aku memang
tak pernah dekat apalagi sampai berpacaran dengan lelaki yang lain. Aku telah
menutup pintu hatiku. Dan rahasia ini hanya aku dan adikku Rizkilah yang tahu.
“Kak aku mau curhat nih!” kata Rizki seraya masuk ke
kamarku.
“Kenapa? Lagi ada masalah di kampus? Atau jangan-jangan
kamu lagi suka sama seseorang ya?”
“ih kakak ini sok tau”
“Trus kenapa kalau begitu?”
“Hehehe,,, iya kak Rizki lagi galau nih”
“Galau kenapa adikku sayang?”
“Kak ada yang nembak Rizki”
“Wah bagus dong, berarti adik yang satu ini kakak
laku juga. Hehehe,,,”
“ih kakak ini apa-apaan sih”
“Ya udah, ya udah cerita sama kakak siapa yang suka
sama Rizki, semester berapa, tinggalnya dimana, dan anak siapa”
“Ih kakak ini udah kayak mau ngelamar anak orang
aja”
“Ya harus seperti itu Ki, kita harus tau baik atau
gak cowok itu”
“Dia udah gak kuliah lagi kak”
“Loh kamu ini gimana sih Ki, kamu ini kan kuliah, ya
kalau bisa mencari cowok yang kuliah jugalah, setidaknya yang setara denganmu”
“Dia dosen Rizki kak”
“Wah bagus tuh kalau gitu”
“coba cerita sama kakak kok bisa dosenmu itu nembak
kamu”
“Gini kak, waktu semester dua kemaren kan ada tuh
kakak kelas yang ngajak Rizki jual bunga waktu acara Wisuda di kampus Rizki, eh
waktu Rizki asik-asiknya jualan ada tuh abang-abang yang dekati Rizki, Rizki
kira dia mau beli bunga ya Rizki tanya mau beli bunga warna apa. Eh dia malah
diem aja sambil mandangin Rizki. Ya Rizki salting lah kakak. Rizki sempat
berpikir juga untuk apa ya dia mau beli bunga, padahalkan dia yang mau Wisuda,
biasanya temen-temen dekat tuh yang beliin bunga bukan malah yang Wisuda yang
beli. Tapi mau ngapai coba dia datangi Rizki kalau bukan mau beli bunga.
Lama-lama rizki gregetan juga karna dipandangi terus, jadi ya Rizki tanya lagi
mau beli bunga apa bang? Dia jawab abang bukan mau beli bunga dek. Trus mau
ngapai dong ke sini kalau bukan mau beli bunga. Abang mau bicara sebentar sama
adik. Emang abang kenal sama aku? Gak. Trus kenapa abang mau ngomong sama aku
dan mau ngomong apa? Bisa ikut abang sebentar gak? Kemana? gak bisa ya
ngomongnya di sini aja? Gak enak kalau didenger yang lain dek. Yah akhirnya
Rizki ikutilah dia. Sampai di tempat yang agak sunyi ia diam dulu tu kak, trus
karna penasarannya ya Rizki tanyalah dia, emang abang mau ngomong apa sih? Kok
kebanyakan mikir gitu, cepetan dong bang aku lagi ditunggui tuh sama
temen-temen aku trus bunga-bunga aku juga gak ada yang jualin. Trus dia ngomong
gini kak, Dek abang boleh minta tolong gak? Yah tergantung. Maksudnya? Oh abang
tau, adik mau abang bayar berapa? Bilang aja dek Insyaallah abang kasih, tapi
jangan banyak-banyak ya dek. Maksud abang apa sih? Tadi adik bilang tergantung,
itu maksudnya tergantung bayarannya kan? Abang ini suuzhon aja sama orang.
Memang bang kita baru kenal tapi gak kayak gitu kalilah. Maksud aku itu
tergantung abang minta bantuan apa, kalau aku bisa bantu ya aku bantu, kalau
gak ya maaf. Gini dek, abang kan ini mau Wisuda, adik mau gak jadi pendamping
Wisuda abang? Kakak tau gak, begitu Rizki denger itu Rizki sempat shok, Rizki
lama bengong. Memang sih kak Rizki pernah denger tentang pendamping Wisuda
bayaran, tapi Rizki gak nyangka kalau Rizki yang akan jadi pendamping
wisudanya. Malah waktu itu Rizki masih semester dua. Ngeliat aku yang bengong
abang itu menyadarkan Rizki, adik kenapa? Adik gak bisa bantu abang ya? Pliss
dek tolonglah abang, sebentar lagi acara akan dimulai, tapi abang belum punya
pendamping. Berapapun adik minta bayarannya abang kasih. Mau ya dek ya, pliss.
Rizki langsung bilang gini kak, bukan soal bayarannya kak, gak dibayar juga aku
gak keberatan, masalahnya aku itu baru semester dua apa pantas aku jadi
pendamping Wisuda, lagian baju dan dandanan aku seperti ini, apa abang gak malu
kalau aku yang jadi pendamping abang? Gak mungkin abang kayak gitu dek, malah
abang seneng kalau adik bisa bantu abang. Mau ya dek jadi pendamping abang?
Nengok wajahnya yang memelas itu aku jadi kasihan sama dia kak, ya aku
mengangguklah. Habis itu aku permisi sama kakak yang ngajak aku jualan, aku
bilang aku ada urusan sebentar. Itulah awal mula aku kenal samanya”
“Tapi tadi Rizki bilang kalau yang nembak Rizki itu
dosen, sekarang kok malah cerita orang yang mau Wisuda sih?”
“Kakak tau gak kalau yang Wisuda dan minta Rizki
jadi pendamping wisuda itu dosen Rizki. Cerita tadi itu kan awal pertemuan
kami. Sekarang dia udah jadi dosen di kampus Rizki.”
“Oh gitu ceritanya. Jadi setelah selesai wisuda
kalian masih sering kontek-kontekan?”
“Ya gak lah kak. Selesai wisuda ya seperti tidak
terjadi apa-apa, Rizki juga gak pernah ketemu lagi sama dia.”
“Oh...”
“Tapi kak sebelum kami berpisahkan dia foto-foto
dulu sama keluarganya di luar gedung, ya dia ngajak Rizki untuk ikut foto-foto
bareng mereka. Sebenarnya Rizki gak mau, tapi Rizki takut ketauan sama
orangtuanya kalau kami itu Cuma boong-boongan aja.”
“Namanya siapa Ki?”
“Hendra kak”
“Namanya bagus, pasti orangnya lumayan ya kan?”
“Hehehe... kakak ini tau aja”
“Trus kok bisa Rizki ditembak sama dia”
“Ya gitu, dia kan sekarang dosen, trus dia pernah
masuk ke kelas Rizki waktu dosen Rizki gak masuk, dia yang gantiin. Rizki
terkejut waktu nengok dia masuk kelas Rizki, eh dia malah senyum-senyum. Ya
Rizki pura-pura gak kenal sama dia. Untungnya dia juga kayak gitu. Tau gak kak,
sewaktu selesai kuliah, dia manggil Rizki.”
“Trus, trus, trus”
“Ya Rizki bilang ada yang bisa saya bantu pak? Dia
tersenyum denger Rizki ngomong kayak gitu. Trus dia ngomong gini kak, saya lupa
kemaren ngucapin terima kasih sama kamu habis saya gak tau nomor Hp kamu. Trus
dia ngeluarin duit, dia mau ngasih uang ke Rizki. Jelas aja Rizki tolak. Rizki
bilang kalau Rizki itu ikhlas ngebantuinnya. Tetap aja dia maksa Rizki tuk
nerima duit itu, tapi Rizki tolak mentah-mentah. Trus dia bilang gini, ya sudah
kalau kamu gak mau nerima pemberian dari saya maka kamu harus mau saya traktir
makan siang, gimana? Sebenarnya Rizki mau nolak tapi Rizki gak tau mau ngasih
alasan apa, ya akhirnya Rizki ngangguk aja. Dari hari itulah kami jadi akrab.”
“Habis itu dia langsung nembak Rizki?”
“Ya gak lah kak, baru kemaren Dia nembak Rizki”
“What?? Kemaren??”
“Iya kak.”
“Kirain kalian udah jadian.”
“Belum, menurut kakak gimana? Rizki terima atau
gak?”
“Ya kalau kakak sih terserah kamunya aja. Kalau kamu
suka sama dia ya terima, kalau gak ya gak usah terima. Kalau masalah bibit, bebet,
dan bobotnya kakak rasa dia orangnya baik. Sekarang keputusan ada ditanganmu.
Rizki udah gede, jadi Rizki pasti tau mana yang baik dan mana yang buruk untuk
Rizki.”
“Ya deh Rizki pikir-pikir dulu. Oh ya kak gimana
kabar bang Iwan mantan kakak dulu? Udah ada kabar?”
“hemm... gak tau lah Ki, dia ilang bagai ditelan
bumi. Gak tau kemana rimbanya.”
“Kalau menurut Rizki ya kak lebih baik kakak membuka
hati kakak untuk orang lain aja. Kayaknya dia itu gak bakalan kembali lagi.
Mungkin aja dia sekarang udah nikah bahkan udah punya anak.”
“Tapi kakak yakin suatu hari nanti kami akan
bertemu. Kalau pun dia udah nikah kakak mau tau kejelasannya, bukan seperti
sekarang ini.”
“Tapi kak, kakak itu harus memikirkan masa depan
kakak juga dong, jangan terus-menerus nunggui dia. Seolah-olah kakak itu tidak
laku saja.”
Sebenarnya sakit mendengar kata-kata itu dari
adikku, tapi apa yang diucapkannya itu memang benar. Aku memang tidak pernah
dekat lagi dengan seorang laki-laki setelah putus dengannya.
“Ki sepertinya kakak ingin menenangkan pikiran dulu,
kakak ingin berkunjung ke rumah bu Mala di Jambi. Kakak akan mencari kerja di
sana.” Sebenarnya ada niat dihatiku untuk mencari bang Iwan, siapa tau aku akan
bertemu dengannya di sana. Dulu kami kan satu sekolah. Dia adalah kakak
kelasku. Ketika aku kelas dua SMA dia kelas tiga, dan saat itulah kami jadian.
Dan ketika dia tammat sekolah ia kuliah di Medan. Oleh karena itulah kami
berpisah. Sekarang mungkin ia telah menjadi sarjana dan mungkin juga ia berada
dikampungnya.
“Yah itu sih terserah kakak aja. Kalau kakak memang
maunya kayak gitu yah sudah. Kapan rencana kakak akan berangkat?”
“Kayaknya minggu depan sajalah, lagian kakak belum
bilang sama mama”
“Yah sudah Rizki pergi dulu ke kamar ya kak, siapa
tau dia nelfon”
Dia langsung ngeloyor pergi meninggalkanku. Aku
hanya mengangguk saja sambil memandanginya.
***
Minggu depannya aku memang benar-benar pergi ke
Jambi. Di sana aku mencari pekerjaan dan kutanyakan juga kepada para
teman-teman dulu bagaimana keadaan bag Iwan. Tapi aku terkejut karena mereka
mengatakan kalau bang Iwan telah lama pindah dari sana. Mereka tidak ada yang
tau kemana bang Iwan perginya. Setengah berputus asa aku mendengar kata-kata
mereka. Pupus sudah harapanku untuk bertemu dengannya. Kemana lagi aku akan
mencarinya? Hanya ini tempat satu-satunya yang aku harapkan dapat mempertemukan
kami tapi nyatanya ia telah pergi bersama keluarga besarnya. Ntah kemana.
Malamnya adikku menelfonku. Sebenarnya aku malas
untuk mengangkat telfonnya, tapi akhirnya kuangkat juga. “Halo,
Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam, kak gimana kabarnya”
“Sehat Ki, Rizki sehat? Udah masuk kuliah kan?”
“Alhamdulillah Rizki sehat kak. Iya kak ne Rizki
udah di kos-kosan. Kak Rizki udah jadian sama bang Hendra”
“Wah bagus dong, berarti adik kakak dah dewasa
sekarang”
“Jadi selama ini kakak nganggap Rizki masih kecil
ya?? Gini-gini udah semester tujuh loh kak. Heheheh... kakak betah di sana?”
“Ya betahlah, malah kakak udah dapat kerjaan di
sini”
“Kerja apa kak?”
“Kakak kerja di supermarket”
“oh ya lah. Oh ya kak minggu depan Rizki akan pergi
Kisaran, PPL.”
“wah kalau begitu sebentar lagi adik kakak ini akan
jadi sarjana dong”
“Iya dong” Pembicaraan kami berlangsung cukup lama
sampai hampir larut baru kami menyudahinya.
Empat bulan aku sudah di Jambi. Tiba-tiba Rizki
menelfon dan pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan tidak seperti biasanya.
Dia bertanya “kak seandainya Rizki nikah lebih dulu dari kakak, gimana?” Aku
terkejut mendengar pertanyaannya.
“Kok Rizki nanyanya kayak gitu?”
“Bang Hendra mau ngelamar Rizki kak” katanya dengan
suara yang pelan. Mungkin dia takut kalau aku akan tersinggung. Sebenarnya aku
sedih mendengarnya, tapi untuk kebahagiaan adikku. Tak mungkin aku tak
merestuinya dan menyuruhnya untuk menungguku yang tak jelas kapan akan menikah.
“Ya kalau kalian berdua sudah siap ya gak apa-apa.
Malah itukan bagus berarti dia memang benar-benar serius sama kamu. Lagian
kalau lama-lama nanti bisa mengundang perzinahan.” Sebenarnya air mataku telah
berlinang. Tapi aku kuatkan diriku untuk tidak menangis sekarang. Dan sebentar
lagi aku akan dilangkahi oleh adikku.
“Kalau kakak keberatan Rizki akan bilang sama bang
Hendra untuk menunggu kak.”
“Tidak usah Ki, kakak gak apa-apa kok. Gak usah
merasa gak enak sama kakak.”
Selesai menelfon aku menangis. Aku menangis karena
kebodohanku sendiri yang telah menyia-nyiakan waktuku untuk orang yang gak
jelas. Mulai timbul penyesalan dalam diriku. Seandainya saja aku mendengarkan
kata-kata kakak-kakakku, mungkin sekarang aku telah mempunyai anak.
Dua minggu kemudian aku mendapat kabar kalau adikku
telah resmi dilamar. Sebenarnya ia menyuruhku untuk pulang tapi aku memberikan
alasan supaya aku tidak pulang. Aku sedih dan malu berada ditengah-tengah
mereka. Maka aku katakan di hari pernikahannya saja aku akan datang.
Dua minggu setelah hari pertunangan itu mereka pun
menikah dan acara resepsi pernikahan adikku pun dilaksanakan tepat pada hari
itu juga. Sebenarnya ia menyuruhku pulang seminggu sebelum hari H, tapi aku
katakan kalau aku tidak bisa libur lama-lama dan pada hari H nanti aku akan
pulang menghadiri acara resepsinya. Aku tau dia sedih, tapi dia tetap mengerti
dengan keadaanku.
Sehari sebelum hari H aku pulang. Perjalanan saja
memakan waktu satu hari. Jadi aku tiba di rumah tepat di hari H-nya.
Sesampainya aku di rumah tepat ketika ijab kabul selesai dibacakan dan adikku
telah resmi menjadi seorang istri. Begitu melihat wajah suami adikku yang
sekarang telah menjadi adik iparku, kakiku terasa lemas. Wajah itu, wajah yang
selalu kurindu. Wajah yang selalu menghiasi mimpi-mimpi indahku. Wajah itu yang
telah kutunggu dan kucari selam enam tahun belakangan ini. Kini ia berada
dirumahku dan menjadi adik iparku. Tanpa terasa mulut ini mengeluarkan kata
“Bang Iwan”, lalu aku tak tau ntah apa yang terjadi padaku. Aku tak sadarkan
diri.